Rabu, 10 Juli 2013

CONTOH PROPOSAL PKL


PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH



Di Susun Oleh
Galih Indra Permana
20100212030


FAKULTAS KEHUTANAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN (INTAN) YOGYAKARTA
2013


PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH



Di Susun Oleh :
Galih Indra Permana
20100212030

FAKULTAS KEHUTANAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN (INTAN) YOGYAKARTA
2013
PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH

Diajukan Kepada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta Sebagai Salah Satu Syarat Yang Di Perlukan Untuk Memperoleh Derajat Sarjana
Strata Satu (S1)

Oleh :
Nama : Galih Indra Permana
Nim : 20100212030
Fakultas : Kehutanan

Dosen Pembimbing




( Ir. Gudiwidayanto Sapto Putro, M.P ) Mahasiswa




( Galih Indra Permana )

Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian ( INTAN ) Yogyakarta


( Ir. Gudiwidayanto Sapto Putro, M.P )
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal kerja praktek yang berjudul “ Proses Produksi Benang Sutera Alam ”, di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh Pati, Jawa Tengah, untuk memenuhi persyaratan dalam pengajuan kerja praktek di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta. Dalam penulisan proposal ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan proposal ini.
Dalam penulisan proposal ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan proposal ini, khususnya kepada :
1. Bapak Ir. Gudiwidayanto SP, M.P selaku dosen pembimbing kerja praktek,
2. Ibu Sugiharmi sebagai staf perpustakaan yang telah membantu dalam mencarikan buku-buku referensi,
3. Teman-teman di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan motivasi,
4. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan proposal ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin.

Yogyakarta, 31 Mei 2013
Penulis

(Galih Indra Permana)

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Tujuan Kerja Praktek....................................................................................2
C. Manfaat Kerja Praktek..................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
A. Sejarah Sutera................................................................................................4
B. Tanaman Murbei...........................................................................................5
1. Klasifikasi Tanaman Murbei.............................................................5
2. Identifikasi Jenis Murbei...................................................................5
3. Jenis Tanaman Murbei......................................................................6
4. Syarat Tumbuh Tanaman Murbei.....................................................8
C. Ulat Sutera....................................................................................................8
1. Klasifikasi Ulat Sutera......................................................................8
2. Jenis Ulat Sutera...............................................................................8
3. Siklus Hidup Ulat Sutera.................................................................10
D. Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera................................................11
E. Komposisi Serat Sutera...............................................................................13

BAB III. METODE KERJA PRAKTEK.......................................................................15
A. Tempat dan Waktu Kerja Praktek...............................................................15
B. Metode Pengumpulan Data.........................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam hutannya, baik itu hasil hutan berupa kayu maupun non kayu. Hasil hutan non kayu diantaranya seperti ; rotan, getah, minyak, madu, sutera alam, dan lain-lain. Hasil hutan yang paling dominan penggunaannya adalah kayu, meskipun demikian bukan berarti hasil hutan non kayu tersebut tidak penting, karena bidang ini juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi negara kita, khususnya untuk bidang Kehutanan. Salah satu hasil hutan non kayu yang diperhatikan karena memiliki prospek yang baik adalah sutera alam, dimana dalam pembudidayaan dan pengolahannya relatif lebih mudah, murah, cepat dan memiliki harga jual yang tinggi. Selain itu bidang ini juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dan mendukung kegiatan reboisasi.
Pada dasarnya persuteraan alam merupakan suatu rentetan kegiatan berupa kegiatan morikultur, yakni usaha budidaya tanaman murbei, dan kegiatan serikultur yang meliputi proses produksi dari telur sutera sampai dengan memanen kokon. Selanjutnya dilakukan pemintalan, yakni dari pemintalan kokon sampai dipintal menjadi benang, kemudian dilakukan penenunan mengunakan bahan benang sutera (anonim, 2008). Pada umumnya usaha persuteraan alam ini berproduksi sampai ke produksi benang sutera. Produksi raw silk dunia sejak tahun 1999 sampai tahun 2005 terus menurun, dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi perekonomian (Anonim, 2005). Negara Indonesia sendiri memiliki tingkat konsumsi benang sutera yang cukup tinggi, terbukti dari data Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial tahun 1995 kebutuhan nasional akan benang sutera sekitar 500 ton setiap tahunnya dan dari jumlah tersebut hanya mampu disediakan rata-rata 150 ton setiap tahunnya. Berarti negara kita hanya dapat memenuhi 30% dari kebutuhan nasional, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut negara kita harus mengimpor benang sutera dari luar negeri seperti Jepang, China, Taiwan. Sentra produksi pesuteraan alam di Indonesia tersebar dibeberapa pulau, seperti ; Jawa (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur), Sumatera (Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung) dan Sulawesi (Sulawesi Selatan). Terdapat juga di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara, akan tetapi masih memproduksi dalam skala kecil. Ada beberapa badan usaha persuteraan alam yang dimiliki Perhutani, diantarannya adalah Perhutanin Jawa Tengah (Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Regaloh Pati dan Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Cadiroto Temanggung), Perhutani Jawa Timur (PSA Pare Kediri), Inhutani Sulawesi Selatan (PSA Soppeng). Soppeng merupakan sentra produksi benang sutera terbesar di Indonesia yaitu sebanyak 44,6 ton atau sekitar 55% dari 77,9 ton total produksi benang sutera Indonesia. Ada juga beberapa pabrik sutera milik swasta yang memiliki kapasitas produksi yang cukup besar, yaitu ; PT. Indo Jado Sutera Pratama (Sukabumi), PT. Adi Sinergi Tran Sutra dan PT. Ira Widya Utama Group (Atmosoedarjo, dkk, 2000).

B. Tujuan Kerja Praktek
Dalam melaksanakan praktek kerja lapangan ini diharapkan mahasiswa dapat memperoleh bekal pengetahuan dan pengalaman dalam mengikuti serta mengamati jalannya proses produksi secara langsung, sesuai dengan program studi yang ditekuni sehingga dapat bermanfaat bagi mahasiswa dimasa mendatang.
Tujuan praktek kerja lapangan bagi mahasiswa adalah :
1. Mengetahui secara langsung berbagai proses produksi benang sutera alam di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
2. Mengetahui relevansi dengan teori mengenai apa yang ada dan terjadi di lapangan.
3. Memperoleh pengalaman kerja secara langsung dengan melibatkan diri dalam berbagai aspek kerja di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
4. Mengembangkan dan melatih diri untuk dapat menelaah secara ilmiah dan kritis dari berbagai kerja serta permasalahan yang mungkin terjadi.
5. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta
.
C. Manfaat Kerja Praktek
Manfaat praktek kerja lapangan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan/ instansi (Pengusahaan Sutera Alam(PSA) Regaloh Pati)
a. Instansi mendapat tenaga tambahan/bantuan.
b. Instansi dapat memanfaatkan pengetahuan serta ketrampilan yang di miliki oleh mahasiswa.
c. Instansi dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, maupun memperbaiki kondisi lingkungan kerja berdasarkan ilmu yang telah mahasiswa punyai.
2. Mahasiswa
a. Dapat mengetahui lingkungan kerja secara nyata.
b. Membekali pengalaman dan tambahan pengetahuan mahasiswa sebelum terjun langsung ke dunia kerja.
c. Mendapatkan Informasi yang baru berdasarkan aktivitas dari perusahaan tersebut.
3. Perguruan Tinggi
a. Dapat menguji sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam menerangkan teori dalam suatu bidang usaha.
b. Sebagai evaluasi peningkatan kurikulum di masa yang akan datang.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Sutera
Sutera pertama dikenal dari negara Cina, yaitu pada masa Dinasti Han (2500 SM) yang diberi nama serica yang berarti sutera karena kehalusan dan keindahannya. Bahan sutera ditempatkan sebagai sarana kehidupan dalam tingkat yang tinggi dan dianggap sebagain suatu barang yang mewah karena sangat mahal harganya, oleh karena itu bahan sutera hanya digunakan oleh kalangan kerajaan, para bangsawan dan pengusaha kaya pada masa itu. Sutera kemudian mengalami perkembangan hingga menyebar ke negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Kemudian pada abad ke-15 didirikan pabrik tenun sutera yang pertama kali di Inggris. Setelah itu sutera mengalami perkembangan yang cukup pesat keseluruh dunia sehingga menjadi salah satu pokok perekonomian beberapa negara, seperti Jepang yang pada tahun 1889 dapat memproduksi bahan sutera hingga 2.000 ton dan dapat mengekspor sutera mentah hingga 40.000 ton (Atmosoedarjo, 2000).
Sedangkan perkembangan sutera di Indonesia sudah sejak abad ke-10 dalam ekspedisi Cham-Cina telah dijumpai bangsawan-bangsawan yang memakai pakaian yang terbuat dari bahan sutera produk lokal. Akan tetapi pada masa itu hanya dikenal industri sutera alamnya saja sedangkan kegiatan budidayanya belum berkembang. Hal ini ditunjukkan dalam sumber-sumber Jepang yang ditulis oleh Sira-Kawa de Sendai (Osyou) dan diterjemahkan oleh Leon Rosny (1868) bahwa adanya terminologi mengenai industri persuteraan alam dalam tiga bahasa di Indonesia (Melayu, Jawa dan Bugis) yang ditemukan dalam publikasi tersebut, yaitu ; sabek (= sutera), woena sabek (= benang sutera), lipak sabek (= sarung sutera), antalasa (= kain satin), padoedang (= taffetas) dan waloudouk (= beludru). Akan tetapi tidak ditemukan adanya terminologi mengenai budidaya ulat sutera seperti ; kokon (kepompong), ulat sutera dan murbei. Menurut laporan resmi Pemerintahan Hindia Belanda, kegiatan budidaya persuteraan alam di Indonesia baru dimulai pertama kali oleh Zwaardecroon (1718-1725) dan dilanjutkan oleh De Haan (1725-1729). Dalam periode itu berhasil diproduksi benang sutera sebanyak 34,5 pound dan di tahun 1735 telah diekspor ke Kerajaan Belanda sebanyak 300 pound (Atmosoedarjo, 2000).
Perkembangan persuteraan alam di Indonesia dengan lebih sungguh-sungguh dimulai kurang lebih di tahun 1950, berdasarkan suatu pemikiran Bapak Dr. Soedjarwo, mantan Menteri Kehutanan, yang pada waktu itu menjabat Kepala Dinas Kehutanan Yogyakarta, dalam rangka mencari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dengan memanfaatkan lahan kehutanan, yang kemudian dikenal dengan Multiple Use Of Forest Lands. Pada tahun 1961 terbentuklah organisasi sutera alam Indonesia yang pertama, yang diberi nama Industri Sutera Rakyat Indonesia, disingkat ISRI. Tahun 1970 Pemerintah membangun proyek pembinaan persuteraan alam di Sulawesi Selatan, kemudian didirikannya pabrik sutera alam yang pertama di Indonesia dengan nama Ratna. Sejak itu kemudian mulailah berkembang pabrik-pabrik sutera alam milik negara di bawah naungan Perhutani dan beberapa pabrik sutera alam milik swasta (Atmosoedarjo, 2000).

B. Tanaman Murbei
Daun Murbei (Morus sp.) merupakan makanan yang paling utama bagi ulat sutera, sehingga harus dipelihara dengan baik agar kebutuhan makanan ulat sutera tercukupi, karena daun yang dimakan juga mempengaruhi kualitas sutera yang akan dihasilkan. Produksi daun murbei di Indonesia sangat kecil, sekitar 6 ton/ha setiap tahunnya, hal ini berarti masih dibawah standart produksi daun, yaitu antara 9-18 ton/ha setiap tahunnya (Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo).
1. Klasifikasi Tanaman Murbei (Sunanto, 1997)
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotiledoneae
Ordo : Urticalis
Famili : Moraceae
Genus : Morus
Species : Morus sp.
2. Identifikasi Jenis Murbei
Jenis-jenis murbei diklasifikasikan antara lain, dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas, daun dan lain-lain. Bentuk-bentuk yang khas dari daun adalah daun berlekuk dan daun utuh. Daun-daun berlekuk selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah lekukan. Akan tetapi daun yang banyak lekukan, dari sudut kegunaannya berkualitas rendah (Atmosoedarjo, 2000).
3. Jenis Tanaman Murbei
Tanaman murbei terdiri dari berbagai jenis, diantara lain :
a. Morus nigra.
Dikenal dengan nama “murbei hitam”, atau jenis “nigra”. Berupa perdu yang dapat mencapai ketinggian sampai 1,5 meter, kalau sudah dewasa. Warna batangnya hijau kecoklat-coklatan, adakalanya coklat hitam kalau sudah tua. Bentuk daunnya lonjong dan lancip ujungnya, dengan panjang antara 5 – 10 cm atau lebih, tergantung dari daerah tumbuhnya. Daunnya berwarna hijau tua, permukaannya halus dan adakalanya bercelah/berlekuk dalam. Bercabang banyak. Stek yang berusia lebih dari 9 – 12 bulan mempunyai 10 cabang atau lebih, apalagi kalau sudah pernah dipangkas. Buahnya berwarna merah jambu, ketika masih muda, dan hitam, kalau sudah tua. Bunga dan buah akan banyak kalau tanaman sudah mencapai umur lebih dari 8 bulan ( langsung dari stek), atau sudah lebih dari 2 bulan setelah pemangkasan (Atmosoedarjo, 2000).
b. Morus multicaulis.
Dikenal dengan nama murbei “murbei multi”, atau “murbei besar”. Berupa perdu yang cepat besar dan tinggi. Warna batang coklat, atau coklat kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedang pinggiran daun bergerigi. Cabangnya tidak banyak paling-paling antara 2 – 4 cabang saja. Setiap cabang cepat memanjang dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu stek baru ditanam, atau batangnya baru dipangkas. Buahnya jarang didapat pada cabang atas. Sekarang banyak ditanam untuk makanan ulat, karena bentuk daunnya yang besar dan kecepatan tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan, bahwa pucuk-pucuknya mudah dan cepat sekali terserang hama serangga, atau penyakit bakteria, virus atau jamur, sehingga bentuknya menggulung atau rusak (Atmosoedarjo, 2000) .


c. Morus australis
Dikenal dengan “murbei pagar”, atau “murbei kecil”, mengingat sering ditanam sebagai pagar dan daunnya kecil-kecil. Sifat hidupnya hampir sama dengan Morus nigra, hanya batangnya berwarna coklat kekuning-kuningan dan dapat mencapai ketinggian sampai 3 – 5 meter, berupa pohon. Kalau sudah berumur 10 tahun lebih, dari satu batang dapat tumbuh sampai 50 cabang yang lebat dengan daun, sehingga setiap musim (3 – 4 bulan sekali) dari satu pohon yang sudah tua bisa didapat 2 – 4 kwintal daun. Sekarang banyak ditanam sebagai batang bawah, yang bagian atasnya disambung dengan okulasi, dengan jenis nigra atau multi. Hal ini mengingat akan tumbuhnya yang besar dan kuat, dan tahan terhadap pergantian musim, atau cuaca dan penyakit (Atmosoedarjo, 2000) .
d. Morus alba
Dikenal dengan nama “murbei buah”, karena pada umumnya ditanam untuk diambil buahnya, seperti di sekitar Lembang, Tawangmangu dan sebagainya. Berbeda dengan jenis-jenis murbei diatas, jenis ini tidak digunakan untuk pakan ulat, karena selain tumbuhnya terbatas, daun yang dapat dipungut sangat sedikit, apalagi kalau tiba waktunya berbuah. Sifat yang paling mencolok dari jenis ini adalah tentang buku, atau ruas, batangnya yang pendek-pendek dan pertumbuhannya yang tidak ke atas melainkan ke samping. Bentuk daunnya seperti murbei nigra, atau murbei pagar, tetapi lebih kecil lagi. Tinggi pohon kalau tumbuh di daerah dingin, dapat sampai 1,5 meter, tumbuh rimbun dan bercabang (Atmosoedarjo, 2000) .
e. Morus bombycis
Walaupun jenis murbei belum lama ditanam di Indonesia, tetapi sekarang banyak ditanam orang, dengan bibit dari Jepang. Di Jepang jenis yang terkenal dengan nama “ichinose” ini merupakan jenis murbei terkemuka untuk pakan ulat sutera. Bentuk batangnya tidak berbeda dengan murbei multi, tetapi pertumbuhan daunnya sama seperti murbei nigra. Permukaan daun sangat halus, sehingga tak terasa adanya gelombang atau, apalagi lekukan pada permukaan daun, yang umum terdapat pada jenis-jenis lain (Atmosoedarjo, 2000).
f. Morus chatayana
Ujung ranting muda dan tangkai daunnya berwarna merah, batangnya berwarna coklat keputihan. Batangnya tumbuh lurus dan agak besar, memproduksi daun banyak. Bentuk daunnya hampir sama dengan Morus alba hanya saja warna daunnya lebih tua (Sunanto, 1997).
4. Syarat Tumbuh Tanaman Murbei
Tanaman murbei dapat tumbuh pada ketinggian hingga lebih dari 1000 m dpl, akan tetapi berdasarkan habitat ulat suteranya. Murbei idealnya ditanam pada ketinggian 400-800 m dpl dengan suhu antara 21-23⁰C, dengan kelembaban udara 65-85%. Tanah sebaiknya memiliki pH diatas 6 (pH optimal 6,5) Curah hujan optimal untuk tanaman murbei adalah antar 635-2.500 mm per tahun (Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo).

C. Ulat Sutera
1. Klasifikasi Ulat Sutera (Sunanto, 1997)
Phyllum : Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lpidoptera
Famili : Bombycidae
Genus : Bombyx
Species : Bombix mori L.
2. Jenis Ulat Sutera
Ulat penghasil sutera memiliki banyak jenis yang tiap jenisnya memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Penggolongan jenis ulat penghasil sutera didasarkan atas beberapa hal yaitu :
• Penggolongan berdasarkan atas jenis ras (Nazarudin dan E. M. Nurcahyo, 1992), yaitu :
a) Ulat sutera ras Cina, umumnya peka terhadap kelembapan yang tinggi, ukurannya kecil dan tumbuh dengan cepat. Kokonnya berbentuk jorong berwarna putih, kuning emas, kehijauan dan merah jambu. Serat suteranya halus dan mudah dipintal.
b) Ulat sutera ras Jepang, bertelur banyak dengan siklus hidup yang panjang, ukuran ulatnya sedang dan kokonnya berwarna kuning atau hijau, berlekuk di tengahnya seperti bentuk kacang.
c) Ulat sutera ras Eropa, memiliki telur dan ulat yang berukuran besar dengan siklus hidup yang panjang (tumbuh dengan lambat), kokonnya berukuran besar dengan sedikit berlekuk ditengahnya, warnanya putih atau kemerahan dan serat suteranya panjang. Ulat sutera jenis ini tidak tahan hidup di daerah tropik, lebih cocok di daerah sub-tropik dan dipelihara pada musim semi.
d) Ulat sutera ras Tropis, hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas, kokonnya berukuran kecil dan tumbuh dengan cepat. Bentuk kokon seperti kumparan, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis sehingga hasil produksinya rendah.
• Penggolongan berdasarkan jumlah generasi pertahun, yaitu :
a) Ulat sutera monovoltine/univoltine, hanya menghasilkan satu generasi dalam satu tahun yang disebabkan karena terjadinya penundaan pematangan embrio (dormansi) selama musim dingin dan tidak tahan dipelihara di daerah tropik.
b) Ulat sutera bivoltine, menghasilkan dua generasi dalam satu tahun, yaitu pada akhir musim semi dan pada awal musim gugur ( memasuki musim dingin telur akan mengalami dormansi sehingga akan menetas pada musim semi berikutnya).
c) Ulat sutera polyvoltine, menghasilkan tiga generasi atau lebih, akan tetapi menghasilkan kokon dengan ukuran kecil dan kandungan seratnya sedikit.
• Penggolongan berdasarkan lama pergantian kulit (ekdisis), yaitu :
a) Ulat sutera three moulters, mengalami tiga kali pergantian kulit selama berbentuk ulat, menghasilkan kokon paling cepat, akan tetapi ukuran kokon kecil sehingga produktivitasnya rendah.
b) Ulat sutera fuor moulters, mengalami empat kali pergantian kulit, ukuran kokon cukup besar, larvanya kuat dan stabil. Jenis ini merupakan ulat penghasil sutera terbaik sehingga paling banyak dipelihara terutama di negara-negara maju dan mempunyai banyak varietas dari hasil pemuliaan.
c) Ulat sutera five moulters, mengalami lima kali pergantian kulit, menghasilkan kokon paling lambat, larvanya tidak kuat dan belum stabil.
• Penggolongan berdasarkan kebiasaan hidupnya (Sunanto, 1997), yaitu :
a) Ulat sutera biasa (bombix mori L.), dipelihara di dalam ruangan dan merupakan penghasil utama sutera yang meliputi 95% produksi sutera dunia.
b) Ulat sutera liar (wild silkworm), biasa hidup bebas dibeberapa jenis pohon. Ulat sutera liar terdiri atas beberapa jenis yaitu ; ulat sutera Eri (Philosamia ricini Hutt) yang memakan daun jarak, ulat sutera Tasar Cina (Antheraea pernyi Guerin) yang memakan daun Aliathus sp. Dan ulat sutera Tasar India (Anthereae myllita Drury) yamg memakan daun ketapang, daun meranti dan daun bungur.
3. Siklus Hidup Ulat Sutera
Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorfosa sempurna dengan beberapa stadium, yaitu ; telur, larva (ulat), kepompong (pupa) dan ngengat (kupu-kupu). Telur ulat sutera berbentuk bulat lonjong, rata-rata panjangnya 1,3 mm, lebarnya 1 mm, tebalnya 0,5 mm dan beratnya 0,5 mg dengan jumlah telur yang dihasilkan setiap ulat berkisar antara 400-500 butir. Pada masa inkubasi, telur harus tanpa pencahayaan selama dua hari sebelum menetas pada suhu kamar 25⁰C dengan kelembapan udara 80-85% (Anonim, 1983).
Larva ulat sutera terdiri atas 5 instar yang dibagi atas 2 stadium (Arkadius A. G, 1998), yaitu :
1. Ulat kecil (instar I – III) selama 10-13 hari, pada suhu antara 26-28⁰C dengan kelembapan udara antara 80-90%.
2. Ulat besar (instar IV – V) selama 10-12 hari, pada suhu antara 23-25⁰C dengan kelembapan udara antara 70-75%.
Ulat sutera membuat kokon umumnya selama 4 hari. Ada beberapa indikasi ulat akan memulai mengokon, yaitu nafsu makan berkurang sampai akhirnya berhenti makan, tubuhnya menjadi transparan, berwarna kekuningan, ukuran tubuh mengecil, mulutnya mengeluarkan serat sutera (filamen) dan pada duburnya mengeluarkan cairan berwarna kuning. Setelah mengokon, ulat akan menjadi pupa selama 10-12 hari, kemudian pupa akan menjadi ngenget (kupu-kupu) yang siap bereproduksi. Lama proses reproduksi adalah 4 jam sampai ngengat betina bertelur, setelah bertelur ngengat tidak makan, tidak mampu terbang dan segera mati. (Anonim, 1992).

D. Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera
Pengolahan kokon menjadi benang sutera memiliki beberapa tahap (Budicakep, 2009), diantaranya :
1. Bahan baku
Sutera adalah salah satu serat alam, yang berasal dari hewan, yaitu ulat sutera. Serat dibuat pada saat ulat sutera akan berubah menjadi kepompong dan kemudian ngengat. Lapisan-lapisan serat-serat sutera pada saat proses pembuatan kokon. Serat sutera merupakan satu satunya serat alam yang berbentuk filamen. Filamen adalah serat yang kontinyu. Pengambilan serat dilakukan dengan jalan menguraikan kokon dengan alat yang biasa disebut mesin Reeling.
Jenis serat sutera ada dua macam, yaitu :
1) Cultivated silk, adalah serat sutera yang dihasilkan dari ulat sutera yang dipelihara dengan seksama. Pemeliharaan dilakukan dari mulai telur ulat menetas sampai dengan masa pembuatan kokon.
2) Wild silk, adalah serat sutera yang dihasilkan dari ulat sutera yang tidak dipelihara, yaitu yang memakan daun pohon oak.
2. Pengolahan Kokon
Proses pengolahan kokon menjadi benang sutera dilaksanakan sebagai berikut :
 Proses persiapan.
Kokon yang tidak akan menjadi bibit, dikumpulkan untuk dimatikan kepompongnya agar tidak menjadi kupu-kupu yang akan menerobos kokon. Bila kokon diterobos, maka filamen akan rusak.
- Penjemuran dibawah sinar matahari selama beberapa jam.
- Menggunakan aliran uap air pada ruangan yang berisi kokon.
- Suhu didalam ruangan kokon harus dijaga tetap, berada antara 65°C – 75°C. Pengerjaan dilakukan selama 15 – 25 menit.
- Setelah dimatikan kepompongnya, kemudian kokon dikeringkan dalam ruangan pengering.
- Menggunakan aliran udara panas. Cara ini dilakukan dalam suatu alat atau ruang pengeringan. Suhu ruang pengering diatur mulai 50° berangsur-angsur naik sampai dengan ± 95ºC. Pengerjaan dilakukan selama 20 – 30 menit.
- Menggunakan obat-obatan.
 Proses Pemilihan Kokon
Kokon yang telah dimatikan kepompongnya sebelum mengalami proses, sebelumnya perlu dipilih yang dilakukanpada bagian penyortiran yang meliputi pekerjaan :
- Pembersihan dan pengupasan serat-serat bagian luar kokon.
- Pemisahan kokon yang besar dan kecil
- Pemisahan kokon cacat dan kotor.
 Pembuatan Benang dengan Mesin Reeling
Sebelum kokon dapat diuraikan menjadi benang pada mesin reeling, terlebih dahulu harus dimasak dengan air panas yang bersuhu ± 95ºC selama 1 – 2 menit. Pemasakan ini dilakukan agar ujung-ujung serat-serat filamen sutera mudah dicari dan diuraikan pada saat reeling. Penguraian dan pencarian ujung filamen dilakukan dengan peralatan sikat yang berputar-putar pada mesin Reeling.
• Air yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat :
- Harus bersih, jernih dan bebas dari macam-macam kotoran.
- Sedapat mungkin netral atau sedikit alkalis dengan pH 6,8 – 8,5.
- Kesadahan diantara 8º – 10º, kesadahan Jerman.
- Sisa penguapan 0,15 – 0,2 gr/1.
Pada mesin reeling konvensional sejumlah ujung filamen dari beberapa buah kokon, disatukan dan ditarik melalui pengantar, kemudian digulung pada kincir atau haspel. Filamen dapat diberi sedikit antihan agar dapat saling berpegangan satu sama lainnya.
Setiap pekerja dapat memegang mesin Reeling sampai 20 mata pintal. Biasanya setiap mata pintal terdiri dari 5 – 8 buah kokon. Pada mesin Reeling otomatis yang dilengkapi dengan alat pencari dan penyuap filamen secara mekanis, seorang pekerja dapat memegang 400 – 600 mata pintal, dengan kemampuan produksi 3 – 4 kali mesin Reeling konvensional. Serat yang dihasilkan digulung dalam bentuk streng, kemudian dibundel dengan ukuran berat ± 6 pound, yang disebut “books”. Selanjutnya books-books ini dipak dalam bentuk bal, yang dapat langsung dikapalkan. Benang sutera tersebut setelah sampai di pabrik pertenunan atau perajutan, sebelum digunakan biasanya dilakukan pengerjaan-pengerjaan persiapan, sebagai berikut :
- Penggulungan kembali pada spool,
- Penggintiran dengan mesin gintir,
- Untuk memantapkan antihan terlebih dahulu dimasukkan kedalam kamar uap selama ± 30 menit,
- Penghilangan serisin pemintalan dengan mesin Reeling dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara Italy atau cara tavelle, dimana sekelompok filamen kokon dipersatukan dan dililitkan satu sama lain (untuk mendapatkan benang yang rata dan daya lekat yang tinggi antar filamen-filamennya). Cara ini banyak digunakan di Indonesia.
2. Cara Perancis atau cara Chambron dimana dua kelompok filamen kokon dililitkan satu sama yang lain. Kemudian lilitan tersebut dipisahkan kembali untuk digulung pada dua kincir yang terpisah.
E. Komposisi Serat Sutera
Sutera dihasilkan oleh ulat sutera melalui sepasang kelenjar sutera (silk gland). Bahan kimia penyusunan sutera terdiri atas dua macam protein hewani yang merupakan serat ganda, yaitu fibroin dan serisin.
1. Fibroin (C15H26N5O6) adalah inti setiap lembar serat sutera yang kandungannya kurang lebih 75% dari berat serat sutera. Protein ini tidak melarut dalam air panas.
2. Serisin (C15H23N5O8) berfungsi sebagai perekat antara lembaran yang satu dengan yang lain, kandungannya kurang lebih 25% dari berat serat sutera. Protein ini bersifat mudah larut dalam air panas.
Untuk memperoleh benang sutera pada waktu proses pemintalan, perekatnya (serisin) harus dihilangkan sehingga diperoleh serat-serat fibroin yang disebut sebagai serat sutera (Sunanto, 1997).


























BAB III
METODE KERJA PRAKTEK
A. Tempat dan Waktu Kerja Praktek
1. Tempat kerja praktek rencananya akan dilaksanakan di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
2. Waktu pelaksanaan kerja praktek dilaksanakan selama satu bulan, rencananya mulai tanggal 26 Juli-26 Agustus 2013.
B. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan cara pengumpulan data (langsung atau tak langsung) jenis data dapat dikelompokkan atas dua kelompok yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan secara langsung dari sumbernya dalam hal ini langsung pada pengusahaan sutera alam (PSA). Pengumpulan data primer menggunakan dua macam metode pengumpulan data yaitu :
a. Metode observasi berupa observasi pabrik, guna mengetahui secara langsung proses produksi benang sutera alam yang selanjutnya dikaitkan dengan teori yang telah didapat dalam perkuliahan.
b. Metode wawancara, metode ini digunakan dengan melakukan wawancara langsung kepada kepala pabrik, seluruh mandor, maupun karyawan pabrik. Keterangan yang diperoleh selanjutnya akan dikumpulkan sebagai materi lapangan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan data secara tidak langsung dari sumbernya. Pengumpulan data sekunder ini hanya menggunakan satu metode pengumpulan data, yaitu dengan jalan melakukan studi pustaka dan dengan melakukan pengumpulan data-data dari beberapa buku panduan yang berkaitan dengan proses produksi benang sutera alam.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.
. 2005. Artikel Agribisnis. http:/ www. Tasikmalaya .go.id [21 Mei 2006]
. 2008. Sutera Alam Kurang Dana. http://situshijau.com.
Arkadius A. G., 1998. Proses Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN). Yogyakarta.
Atmosoedarjo, S dkk. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Budicakep. 2009. Pengolahan Benang Sutera. http://wordpress.com.
Kaomini. 1999. Laporan Kunjungan ke Lokasi Persuteraan Alam di Sulawesi Selatan. (Tidak diterbitkan)
Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo. 1992. Budidaya Ulat Sutera. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Kanisius. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar