Rabu, 10 Juli 2013

CONTOH PROPOSAL PKL


PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH



Di Susun Oleh
Galih Indra Permana
20100212030


FAKULTAS KEHUTANAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN (INTAN) YOGYAKARTA
2013


PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH



Di Susun Oleh :
Galih Indra Permana
20100212030

FAKULTAS KEHUTANAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN (INTAN) YOGYAKARTA
2013
PROPOSAL KERJA PRAKTEK
PROSES PRODUKSI BENANG SUTERA ALAM
DI PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH PATI
JAWA TENGAH

Diajukan Kepada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta Sebagai Salah Satu Syarat Yang Di Perlukan Untuk Memperoleh Derajat Sarjana
Strata Satu (S1)

Oleh :
Nama : Galih Indra Permana
Nim : 20100212030
Fakultas : Kehutanan

Dosen Pembimbing




( Ir. Gudiwidayanto Sapto Putro, M.P ) Mahasiswa




( Galih Indra Permana )

Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian ( INTAN ) Yogyakarta


( Ir. Gudiwidayanto Sapto Putro, M.P )
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal kerja praktek yang berjudul “ Proses Produksi Benang Sutera Alam ”, di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh Pati, Jawa Tengah, untuk memenuhi persyaratan dalam pengajuan kerja praktek di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta. Dalam penulisan proposal ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan proposal ini.
Dalam penulisan proposal ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan proposal ini, khususnya kepada :
1. Bapak Ir. Gudiwidayanto SP, M.P selaku dosen pembimbing kerja praktek,
2. Ibu Sugiharmi sebagai staf perpustakaan yang telah membantu dalam mencarikan buku-buku referensi,
3. Teman-teman di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan motivasi,
4. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan proposal ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin.

Yogyakarta, 31 Mei 2013
Penulis

(Galih Indra Permana)

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Tujuan Kerja Praktek....................................................................................2
C. Manfaat Kerja Praktek..................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
A. Sejarah Sutera................................................................................................4
B. Tanaman Murbei...........................................................................................5
1. Klasifikasi Tanaman Murbei.............................................................5
2. Identifikasi Jenis Murbei...................................................................5
3. Jenis Tanaman Murbei......................................................................6
4. Syarat Tumbuh Tanaman Murbei.....................................................8
C. Ulat Sutera....................................................................................................8
1. Klasifikasi Ulat Sutera......................................................................8
2. Jenis Ulat Sutera...............................................................................8
3. Siklus Hidup Ulat Sutera.................................................................10
D. Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera................................................11
E. Komposisi Serat Sutera...............................................................................13

BAB III. METODE KERJA PRAKTEK.......................................................................15
A. Tempat dan Waktu Kerja Praktek...............................................................15
B. Metode Pengumpulan Data.........................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam hutannya, baik itu hasil hutan berupa kayu maupun non kayu. Hasil hutan non kayu diantaranya seperti ; rotan, getah, minyak, madu, sutera alam, dan lain-lain. Hasil hutan yang paling dominan penggunaannya adalah kayu, meskipun demikian bukan berarti hasil hutan non kayu tersebut tidak penting, karena bidang ini juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi negara kita, khususnya untuk bidang Kehutanan. Salah satu hasil hutan non kayu yang diperhatikan karena memiliki prospek yang baik adalah sutera alam, dimana dalam pembudidayaan dan pengolahannya relatif lebih mudah, murah, cepat dan memiliki harga jual yang tinggi. Selain itu bidang ini juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dan mendukung kegiatan reboisasi.
Pada dasarnya persuteraan alam merupakan suatu rentetan kegiatan berupa kegiatan morikultur, yakni usaha budidaya tanaman murbei, dan kegiatan serikultur yang meliputi proses produksi dari telur sutera sampai dengan memanen kokon. Selanjutnya dilakukan pemintalan, yakni dari pemintalan kokon sampai dipintal menjadi benang, kemudian dilakukan penenunan mengunakan bahan benang sutera (anonim, 2008). Pada umumnya usaha persuteraan alam ini berproduksi sampai ke produksi benang sutera. Produksi raw silk dunia sejak tahun 1999 sampai tahun 2005 terus menurun, dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi perekonomian (Anonim, 2005). Negara Indonesia sendiri memiliki tingkat konsumsi benang sutera yang cukup tinggi, terbukti dari data Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial tahun 1995 kebutuhan nasional akan benang sutera sekitar 500 ton setiap tahunnya dan dari jumlah tersebut hanya mampu disediakan rata-rata 150 ton setiap tahunnya. Berarti negara kita hanya dapat memenuhi 30% dari kebutuhan nasional, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut negara kita harus mengimpor benang sutera dari luar negeri seperti Jepang, China, Taiwan. Sentra produksi pesuteraan alam di Indonesia tersebar dibeberapa pulau, seperti ; Jawa (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur), Sumatera (Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung) dan Sulawesi (Sulawesi Selatan). Terdapat juga di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara, akan tetapi masih memproduksi dalam skala kecil. Ada beberapa badan usaha persuteraan alam yang dimiliki Perhutani, diantarannya adalah Perhutanin Jawa Tengah (Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Regaloh Pati dan Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Cadiroto Temanggung), Perhutani Jawa Timur (PSA Pare Kediri), Inhutani Sulawesi Selatan (PSA Soppeng). Soppeng merupakan sentra produksi benang sutera terbesar di Indonesia yaitu sebanyak 44,6 ton atau sekitar 55% dari 77,9 ton total produksi benang sutera Indonesia. Ada juga beberapa pabrik sutera milik swasta yang memiliki kapasitas produksi yang cukup besar, yaitu ; PT. Indo Jado Sutera Pratama (Sukabumi), PT. Adi Sinergi Tran Sutra dan PT. Ira Widya Utama Group (Atmosoedarjo, dkk, 2000).

B. Tujuan Kerja Praktek
Dalam melaksanakan praktek kerja lapangan ini diharapkan mahasiswa dapat memperoleh bekal pengetahuan dan pengalaman dalam mengikuti serta mengamati jalannya proses produksi secara langsung, sesuai dengan program studi yang ditekuni sehingga dapat bermanfaat bagi mahasiswa dimasa mendatang.
Tujuan praktek kerja lapangan bagi mahasiswa adalah :
1. Mengetahui secara langsung berbagai proses produksi benang sutera alam di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
2. Mengetahui relevansi dengan teori mengenai apa yang ada dan terjadi di lapangan.
3. Memperoleh pengalaman kerja secara langsung dengan melibatkan diri dalam berbagai aspek kerja di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
4. Mengembangkan dan melatih diri untuk dapat menelaah secara ilmiah dan kritis dari berbagai kerja serta permasalahan yang mungkin terjadi.
5. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta
.
C. Manfaat Kerja Praktek
Manfaat praktek kerja lapangan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan/ instansi (Pengusahaan Sutera Alam(PSA) Regaloh Pati)
a. Instansi mendapat tenaga tambahan/bantuan.
b. Instansi dapat memanfaatkan pengetahuan serta ketrampilan yang di miliki oleh mahasiswa.
c. Instansi dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, maupun memperbaiki kondisi lingkungan kerja berdasarkan ilmu yang telah mahasiswa punyai.
2. Mahasiswa
a. Dapat mengetahui lingkungan kerja secara nyata.
b. Membekali pengalaman dan tambahan pengetahuan mahasiswa sebelum terjun langsung ke dunia kerja.
c. Mendapatkan Informasi yang baru berdasarkan aktivitas dari perusahaan tersebut.
3. Perguruan Tinggi
a. Dapat menguji sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam menerangkan teori dalam suatu bidang usaha.
b. Sebagai evaluasi peningkatan kurikulum di masa yang akan datang.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Sutera
Sutera pertama dikenal dari negara Cina, yaitu pada masa Dinasti Han (2500 SM) yang diberi nama serica yang berarti sutera karena kehalusan dan keindahannya. Bahan sutera ditempatkan sebagai sarana kehidupan dalam tingkat yang tinggi dan dianggap sebagain suatu barang yang mewah karena sangat mahal harganya, oleh karena itu bahan sutera hanya digunakan oleh kalangan kerajaan, para bangsawan dan pengusaha kaya pada masa itu. Sutera kemudian mengalami perkembangan hingga menyebar ke negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Kemudian pada abad ke-15 didirikan pabrik tenun sutera yang pertama kali di Inggris. Setelah itu sutera mengalami perkembangan yang cukup pesat keseluruh dunia sehingga menjadi salah satu pokok perekonomian beberapa negara, seperti Jepang yang pada tahun 1889 dapat memproduksi bahan sutera hingga 2.000 ton dan dapat mengekspor sutera mentah hingga 40.000 ton (Atmosoedarjo, 2000).
Sedangkan perkembangan sutera di Indonesia sudah sejak abad ke-10 dalam ekspedisi Cham-Cina telah dijumpai bangsawan-bangsawan yang memakai pakaian yang terbuat dari bahan sutera produk lokal. Akan tetapi pada masa itu hanya dikenal industri sutera alamnya saja sedangkan kegiatan budidayanya belum berkembang. Hal ini ditunjukkan dalam sumber-sumber Jepang yang ditulis oleh Sira-Kawa de Sendai (Osyou) dan diterjemahkan oleh Leon Rosny (1868) bahwa adanya terminologi mengenai industri persuteraan alam dalam tiga bahasa di Indonesia (Melayu, Jawa dan Bugis) yang ditemukan dalam publikasi tersebut, yaitu ; sabek (= sutera), woena sabek (= benang sutera), lipak sabek (= sarung sutera), antalasa (= kain satin), padoedang (= taffetas) dan waloudouk (= beludru). Akan tetapi tidak ditemukan adanya terminologi mengenai budidaya ulat sutera seperti ; kokon (kepompong), ulat sutera dan murbei. Menurut laporan resmi Pemerintahan Hindia Belanda, kegiatan budidaya persuteraan alam di Indonesia baru dimulai pertama kali oleh Zwaardecroon (1718-1725) dan dilanjutkan oleh De Haan (1725-1729). Dalam periode itu berhasil diproduksi benang sutera sebanyak 34,5 pound dan di tahun 1735 telah diekspor ke Kerajaan Belanda sebanyak 300 pound (Atmosoedarjo, 2000).
Perkembangan persuteraan alam di Indonesia dengan lebih sungguh-sungguh dimulai kurang lebih di tahun 1950, berdasarkan suatu pemikiran Bapak Dr. Soedjarwo, mantan Menteri Kehutanan, yang pada waktu itu menjabat Kepala Dinas Kehutanan Yogyakarta, dalam rangka mencari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dengan memanfaatkan lahan kehutanan, yang kemudian dikenal dengan Multiple Use Of Forest Lands. Pada tahun 1961 terbentuklah organisasi sutera alam Indonesia yang pertama, yang diberi nama Industri Sutera Rakyat Indonesia, disingkat ISRI. Tahun 1970 Pemerintah membangun proyek pembinaan persuteraan alam di Sulawesi Selatan, kemudian didirikannya pabrik sutera alam yang pertama di Indonesia dengan nama Ratna. Sejak itu kemudian mulailah berkembang pabrik-pabrik sutera alam milik negara di bawah naungan Perhutani dan beberapa pabrik sutera alam milik swasta (Atmosoedarjo, 2000).

B. Tanaman Murbei
Daun Murbei (Morus sp.) merupakan makanan yang paling utama bagi ulat sutera, sehingga harus dipelihara dengan baik agar kebutuhan makanan ulat sutera tercukupi, karena daun yang dimakan juga mempengaruhi kualitas sutera yang akan dihasilkan. Produksi daun murbei di Indonesia sangat kecil, sekitar 6 ton/ha setiap tahunnya, hal ini berarti masih dibawah standart produksi daun, yaitu antara 9-18 ton/ha setiap tahunnya (Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo).
1. Klasifikasi Tanaman Murbei (Sunanto, 1997)
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotiledoneae
Ordo : Urticalis
Famili : Moraceae
Genus : Morus
Species : Morus sp.
2. Identifikasi Jenis Murbei
Jenis-jenis murbei diklasifikasikan antara lain, dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas, daun dan lain-lain. Bentuk-bentuk yang khas dari daun adalah daun berlekuk dan daun utuh. Daun-daun berlekuk selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah lekukan. Akan tetapi daun yang banyak lekukan, dari sudut kegunaannya berkualitas rendah (Atmosoedarjo, 2000).
3. Jenis Tanaman Murbei
Tanaman murbei terdiri dari berbagai jenis, diantara lain :
a. Morus nigra.
Dikenal dengan nama “murbei hitam”, atau jenis “nigra”. Berupa perdu yang dapat mencapai ketinggian sampai 1,5 meter, kalau sudah dewasa. Warna batangnya hijau kecoklat-coklatan, adakalanya coklat hitam kalau sudah tua. Bentuk daunnya lonjong dan lancip ujungnya, dengan panjang antara 5 – 10 cm atau lebih, tergantung dari daerah tumbuhnya. Daunnya berwarna hijau tua, permukaannya halus dan adakalanya bercelah/berlekuk dalam. Bercabang banyak. Stek yang berusia lebih dari 9 – 12 bulan mempunyai 10 cabang atau lebih, apalagi kalau sudah pernah dipangkas. Buahnya berwarna merah jambu, ketika masih muda, dan hitam, kalau sudah tua. Bunga dan buah akan banyak kalau tanaman sudah mencapai umur lebih dari 8 bulan ( langsung dari stek), atau sudah lebih dari 2 bulan setelah pemangkasan (Atmosoedarjo, 2000).
b. Morus multicaulis.
Dikenal dengan nama murbei “murbei multi”, atau “murbei besar”. Berupa perdu yang cepat besar dan tinggi. Warna batang coklat, atau coklat kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedang pinggiran daun bergerigi. Cabangnya tidak banyak paling-paling antara 2 – 4 cabang saja. Setiap cabang cepat memanjang dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu stek baru ditanam, atau batangnya baru dipangkas. Buahnya jarang didapat pada cabang atas. Sekarang banyak ditanam untuk makanan ulat, karena bentuk daunnya yang besar dan kecepatan tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan, bahwa pucuk-pucuknya mudah dan cepat sekali terserang hama serangga, atau penyakit bakteria, virus atau jamur, sehingga bentuknya menggulung atau rusak (Atmosoedarjo, 2000) .


c. Morus australis
Dikenal dengan “murbei pagar”, atau “murbei kecil”, mengingat sering ditanam sebagai pagar dan daunnya kecil-kecil. Sifat hidupnya hampir sama dengan Morus nigra, hanya batangnya berwarna coklat kekuning-kuningan dan dapat mencapai ketinggian sampai 3 – 5 meter, berupa pohon. Kalau sudah berumur 10 tahun lebih, dari satu batang dapat tumbuh sampai 50 cabang yang lebat dengan daun, sehingga setiap musim (3 – 4 bulan sekali) dari satu pohon yang sudah tua bisa didapat 2 – 4 kwintal daun. Sekarang banyak ditanam sebagai batang bawah, yang bagian atasnya disambung dengan okulasi, dengan jenis nigra atau multi. Hal ini mengingat akan tumbuhnya yang besar dan kuat, dan tahan terhadap pergantian musim, atau cuaca dan penyakit (Atmosoedarjo, 2000) .
d. Morus alba
Dikenal dengan nama “murbei buah”, karena pada umumnya ditanam untuk diambil buahnya, seperti di sekitar Lembang, Tawangmangu dan sebagainya. Berbeda dengan jenis-jenis murbei diatas, jenis ini tidak digunakan untuk pakan ulat, karena selain tumbuhnya terbatas, daun yang dapat dipungut sangat sedikit, apalagi kalau tiba waktunya berbuah. Sifat yang paling mencolok dari jenis ini adalah tentang buku, atau ruas, batangnya yang pendek-pendek dan pertumbuhannya yang tidak ke atas melainkan ke samping. Bentuk daunnya seperti murbei nigra, atau murbei pagar, tetapi lebih kecil lagi. Tinggi pohon kalau tumbuh di daerah dingin, dapat sampai 1,5 meter, tumbuh rimbun dan bercabang (Atmosoedarjo, 2000) .
e. Morus bombycis
Walaupun jenis murbei belum lama ditanam di Indonesia, tetapi sekarang banyak ditanam orang, dengan bibit dari Jepang. Di Jepang jenis yang terkenal dengan nama “ichinose” ini merupakan jenis murbei terkemuka untuk pakan ulat sutera. Bentuk batangnya tidak berbeda dengan murbei multi, tetapi pertumbuhan daunnya sama seperti murbei nigra. Permukaan daun sangat halus, sehingga tak terasa adanya gelombang atau, apalagi lekukan pada permukaan daun, yang umum terdapat pada jenis-jenis lain (Atmosoedarjo, 2000).
f. Morus chatayana
Ujung ranting muda dan tangkai daunnya berwarna merah, batangnya berwarna coklat keputihan. Batangnya tumbuh lurus dan agak besar, memproduksi daun banyak. Bentuk daunnya hampir sama dengan Morus alba hanya saja warna daunnya lebih tua (Sunanto, 1997).
4. Syarat Tumbuh Tanaman Murbei
Tanaman murbei dapat tumbuh pada ketinggian hingga lebih dari 1000 m dpl, akan tetapi berdasarkan habitat ulat suteranya. Murbei idealnya ditanam pada ketinggian 400-800 m dpl dengan suhu antara 21-23⁰C, dengan kelembaban udara 65-85%. Tanah sebaiknya memiliki pH diatas 6 (pH optimal 6,5) Curah hujan optimal untuk tanaman murbei adalah antar 635-2.500 mm per tahun (Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo).

C. Ulat Sutera
1. Klasifikasi Ulat Sutera (Sunanto, 1997)
Phyllum : Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lpidoptera
Famili : Bombycidae
Genus : Bombyx
Species : Bombix mori L.
2. Jenis Ulat Sutera
Ulat penghasil sutera memiliki banyak jenis yang tiap jenisnya memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Penggolongan jenis ulat penghasil sutera didasarkan atas beberapa hal yaitu :
• Penggolongan berdasarkan atas jenis ras (Nazarudin dan E. M. Nurcahyo, 1992), yaitu :
a) Ulat sutera ras Cina, umumnya peka terhadap kelembapan yang tinggi, ukurannya kecil dan tumbuh dengan cepat. Kokonnya berbentuk jorong berwarna putih, kuning emas, kehijauan dan merah jambu. Serat suteranya halus dan mudah dipintal.
b) Ulat sutera ras Jepang, bertelur banyak dengan siklus hidup yang panjang, ukuran ulatnya sedang dan kokonnya berwarna kuning atau hijau, berlekuk di tengahnya seperti bentuk kacang.
c) Ulat sutera ras Eropa, memiliki telur dan ulat yang berukuran besar dengan siklus hidup yang panjang (tumbuh dengan lambat), kokonnya berukuran besar dengan sedikit berlekuk ditengahnya, warnanya putih atau kemerahan dan serat suteranya panjang. Ulat sutera jenis ini tidak tahan hidup di daerah tropik, lebih cocok di daerah sub-tropik dan dipelihara pada musim semi.
d) Ulat sutera ras Tropis, hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas, kokonnya berukuran kecil dan tumbuh dengan cepat. Bentuk kokon seperti kumparan, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis sehingga hasil produksinya rendah.
• Penggolongan berdasarkan jumlah generasi pertahun, yaitu :
a) Ulat sutera monovoltine/univoltine, hanya menghasilkan satu generasi dalam satu tahun yang disebabkan karena terjadinya penundaan pematangan embrio (dormansi) selama musim dingin dan tidak tahan dipelihara di daerah tropik.
b) Ulat sutera bivoltine, menghasilkan dua generasi dalam satu tahun, yaitu pada akhir musim semi dan pada awal musim gugur ( memasuki musim dingin telur akan mengalami dormansi sehingga akan menetas pada musim semi berikutnya).
c) Ulat sutera polyvoltine, menghasilkan tiga generasi atau lebih, akan tetapi menghasilkan kokon dengan ukuran kecil dan kandungan seratnya sedikit.
• Penggolongan berdasarkan lama pergantian kulit (ekdisis), yaitu :
a) Ulat sutera three moulters, mengalami tiga kali pergantian kulit selama berbentuk ulat, menghasilkan kokon paling cepat, akan tetapi ukuran kokon kecil sehingga produktivitasnya rendah.
b) Ulat sutera fuor moulters, mengalami empat kali pergantian kulit, ukuran kokon cukup besar, larvanya kuat dan stabil. Jenis ini merupakan ulat penghasil sutera terbaik sehingga paling banyak dipelihara terutama di negara-negara maju dan mempunyai banyak varietas dari hasil pemuliaan.
c) Ulat sutera five moulters, mengalami lima kali pergantian kulit, menghasilkan kokon paling lambat, larvanya tidak kuat dan belum stabil.
• Penggolongan berdasarkan kebiasaan hidupnya (Sunanto, 1997), yaitu :
a) Ulat sutera biasa (bombix mori L.), dipelihara di dalam ruangan dan merupakan penghasil utama sutera yang meliputi 95% produksi sutera dunia.
b) Ulat sutera liar (wild silkworm), biasa hidup bebas dibeberapa jenis pohon. Ulat sutera liar terdiri atas beberapa jenis yaitu ; ulat sutera Eri (Philosamia ricini Hutt) yang memakan daun jarak, ulat sutera Tasar Cina (Antheraea pernyi Guerin) yang memakan daun Aliathus sp. Dan ulat sutera Tasar India (Anthereae myllita Drury) yamg memakan daun ketapang, daun meranti dan daun bungur.
3. Siklus Hidup Ulat Sutera
Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorfosa sempurna dengan beberapa stadium, yaitu ; telur, larva (ulat), kepompong (pupa) dan ngengat (kupu-kupu). Telur ulat sutera berbentuk bulat lonjong, rata-rata panjangnya 1,3 mm, lebarnya 1 mm, tebalnya 0,5 mm dan beratnya 0,5 mg dengan jumlah telur yang dihasilkan setiap ulat berkisar antara 400-500 butir. Pada masa inkubasi, telur harus tanpa pencahayaan selama dua hari sebelum menetas pada suhu kamar 25⁰C dengan kelembapan udara 80-85% (Anonim, 1983).
Larva ulat sutera terdiri atas 5 instar yang dibagi atas 2 stadium (Arkadius A. G, 1998), yaitu :
1. Ulat kecil (instar I – III) selama 10-13 hari, pada suhu antara 26-28⁰C dengan kelembapan udara antara 80-90%.
2. Ulat besar (instar IV – V) selama 10-12 hari, pada suhu antara 23-25⁰C dengan kelembapan udara antara 70-75%.
Ulat sutera membuat kokon umumnya selama 4 hari. Ada beberapa indikasi ulat akan memulai mengokon, yaitu nafsu makan berkurang sampai akhirnya berhenti makan, tubuhnya menjadi transparan, berwarna kekuningan, ukuran tubuh mengecil, mulutnya mengeluarkan serat sutera (filamen) dan pada duburnya mengeluarkan cairan berwarna kuning. Setelah mengokon, ulat akan menjadi pupa selama 10-12 hari, kemudian pupa akan menjadi ngenget (kupu-kupu) yang siap bereproduksi. Lama proses reproduksi adalah 4 jam sampai ngengat betina bertelur, setelah bertelur ngengat tidak makan, tidak mampu terbang dan segera mati. (Anonim, 1992).

D. Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera
Pengolahan kokon menjadi benang sutera memiliki beberapa tahap (Budicakep, 2009), diantaranya :
1. Bahan baku
Sutera adalah salah satu serat alam, yang berasal dari hewan, yaitu ulat sutera. Serat dibuat pada saat ulat sutera akan berubah menjadi kepompong dan kemudian ngengat. Lapisan-lapisan serat-serat sutera pada saat proses pembuatan kokon. Serat sutera merupakan satu satunya serat alam yang berbentuk filamen. Filamen adalah serat yang kontinyu. Pengambilan serat dilakukan dengan jalan menguraikan kokon dengan alat yang biasa disebut mesin Reeling.
Jenis serat sutera ada dua macam, yaitu :
1) Cultivated silk, adalah serat sutera yang dihasilkan dari ulat sutera yang dipelihara dengan seksama. Pemeliharaan dilakukan dari mulai telur ulat menetas sampai dengan masa pembuatan kokon.
2) Wild silk, adalah serat sutera yang dihasilkan dari ulat sutera yang tidak dipelihara, yaitu yang memakan daun pohon oak.
2. Pengolahan Kokon
Proses pengolahan kokon menjadi benang sutera dilaksanakan sebagai berikut :
 Proses persiapan.
Kokon yang tidak akan menjadi bibit, dikumpulkan untuk dimatikan kepompongnya agar tidak menjadi kupu-kupu yang akan menerobos kokon. Bila kokon diterobos, maka filamen akan rusak.
- Penjemuran dibawah sinar matahari selama beberapa jam.
- Menggunakan aliran uap air pada ruangan yang berisi kokon.
- Suhu didalam ruangan kokon harus dijaga tetap, berada antara 65°C – 75°C. Pengerjaan dilakukan selama 15 – 25 menit.
- Setelah dimatikan kepompongnya, kemudian kokon dikeringkan dalam ruangan pengering.
- Menggunakan aliran udara panas. Cara ini dilakukan dalam suatu alat atau ruang pengeringan. Suhu ruang pengering diatur mulai 50° berangsur-angsur naik sampai dengan ± 95ºC. Pengerjaan dilakukan selama 20 – 30 menit.
- Menggunakan obat-obatan.
 Proses Pemilihan Kokon
Kokon yang telah dimatikan kepompongnya sebelum mengalami proses, sebelumnya perlu dipilih yang dilakukanpada bagian penyortiran yang meliputi pekerjaan :
- Pembersihan dan pengupasan serat-serat bagian luar kokon.
- Pemisahan kokon yang besar dan kecil
- Pemisahan kokon cacat dan kotor.
 Pembuatan Benang dengan Mesin Reeling
Sebelum kokon dapat diuraikan menjadi benang pada mesin reeling, terlebih dahulu harus dimasak dengan air panas yang bersuhu ± 95ºC selama 1 – 2 menit. Pemasakan ini dilakukan agar ujung-ujung serat-serat filamen sutera mudah dicari dan diuraikan pada saat reeling. Penguraian dan pencarian ujung filamen dilakukan dengan peralatan sikat yang berputar-putar pada mesin Reeling.
• Air yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat :
- Harus bersih, jernih dan bebas dari macam-macam kotoran.
- Sedapat mungkin netral atau sedikit alkalis dengan pH 6,8 – 8,5.
- Kesadahan diantara 8º – 10º, kesadahan Jerman.
- Sisa penguapan 0,15 – 0,2 gr/1.
Pada mesin reeling konvensional sejumlah ujung filamen dari beberapa buah kokon, disatukan dan ditarik melalui pengantar, kemudian digulung pada kincir atau haspel. Filamen dapat diberi sedikit antihan agar dapat saling berpegangan satu sama lainnya.
Setiap pekerja dapat memegang mesin Reeling sampai 20 mata pintal. Biasanya setiap mata pintal terdiri dari 5 – 8 buah kokon. Pada mesin Reeling otomatis yang dilengkapi dengan alat pencari dan penyuap filamen secara mekanis, seorang pekerja dapat memegang 400 – 600 mata pintal, dengan kemampuan produksi 3 – 4 kali mesin Reeling konvensional. Serat yang dihasilkan digulung dalam bentuk streng, kemudian dibundel dengan ukuran berat ± 6 pound, yang disebut “books”. Selanjutnya books-books ini dipak dalam bentuk bal, yang dapat langsung dikapalkan. Benang sutera tersebut setelah sampai di pabrik pertenunan atau perajutan, sebelum digunakan biasanya dilakukan pengerjaan-pengerjaan persiapan, sebagai berikut :
- Penggulungan kembali pada spool,
- Penggintiran dengan mesin gintir,
- Untuk memantapkan antihan terlebih dahulu dimasukkan kedalam kamar uap selama ± 30 menit,
- Penghilangan serisin pemintalan dengan mesin Reeling dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara Italy atau cara tavelle, dimana sekelompok filamen kokon dipersatukan dan dililitkan satu sama lain (untuk mendapatkan benang yang rata dan daya lekat yang tinggi antar filamen-filamennya). Cara ini banyak digunakan di Indonesia.
2. Cara Perancis atau cara Chambron dimana dua kelompok filamen kokon dililitkan satu sama yang lain. Kemudian lilitan tersebut dipisahkan kembali untuk digulung pada dua kincir yang terpisah.
E. Komposisi Serat Sutera
Sutera dihasilkan oleh ulat sutera melalui sepasang kelenjar sutera (silk gland). Bahan kimia penyusunan sutera terdiri atas dua macam protein hewani yang merupakan serat ganda, yaitu fibroin dan serisin.
1. Fibroin (C15H26N5O6) adalah inti setiap lembar serat sutera yang kandungannya kurang lebih 75% dari berat serat sutera. Protein ini tidak melarut dalam air panas.
2. Serisin (C15H23N5O8) berfungsi sebagai perekat antara lembaran yang satu dengan yang lain, kandungannya kurang lebih 25% dari berat serat sutera. Protein ini bersifat mudah larut dalam air panas.
Untuk memperoleh benang sutera pada waktu proses pemintalan, perekatnya (serisin) harus dihilangkan sehingga diperoleh serat-serat fibroin yang disebut sebagai serat sutera (Sunanto, 1997).


























BAB III
METODE KERJA PRAKTEK
A. Tempat dan Waktu Kerja Praktek
1. Tempat kerja praktek rencananya akan dilaksanakan di pengusahaan sutera alam (PSA) Regaloh kabupaten Pati, Jawa Tengah.
2. Waktu pelaksanaan kerja praktek dilaksanakan selama satu bulan, rencananya mulai tanggal 26 Juli-26 Agustus 2013.
B. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan cara pengumpulan data (langsung atau tak langsung) jenis data dapat dikelompokkan atas dua kelompok yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan secara langsung dari sumbernya dalam hal ini langsung pada pengusahaan sutera alam (PSA). Pengumpulan data primer menggunakan dua macam metode pengumpulan data yaitu :
a. Metode observasi berupa observasi pabrik, guna mengetahui secara langsung proses produksi benang sutera alam yang selanjutnya dikaitkan dengan teori yang telah didapat dalam perkuliahan.
b. Metode wawancara, metode ini digunakan dengan melakukan wawancara langsung kepada kepala pabrik, seluruh mandor, maupun karyawan pabrik. Keterangan yang diperoleh selanjutnya akan dikumpulkan sebagai materi lapangan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan data secara tidak langsung dari sumbernya. Pengumpulan data sekunder ini hanya menggunakan satu metode pengumpulan data, yaitu dengan jalan melakukan studi pustaka dan dengan melakukan pengumpulan data-data dari beberapa buku panduan yang berkaitan dengan proses produksi benang sutera alam.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.
. 2005. Artikel Agribisnis. http:/ www. Tasikmalaya .go.id [21 Mei 2006]
. 2008. Sutera Alam Kurang Dana. http://situshijau.com.
Arkadius A. G., 1998. Proses Pengolahan Kokon Menjadi Benang Sutera. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN). Yogyakarta.
Atmosoedarjo, S dkk. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Budicakep. 2009. Pengolahan Benang Sutera. http://wordpress.com.
Kaomini. 1999. Laporan Kunjungan ke Lokasi Persuteraan Alam di Sulawesi Selatan. (Tidak diterbitkan)
Nazaruddin dan E. M. Nurcahyo. 1992. Budidaya Ulat Sutera. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Kanisius. Yogyakarta.

MAKALAH PENGELOLAAN DAN PENGAMANAN HUTAN



MAKALAH
PENGELOLAAN DAN PENGAMANAN HUTAN
Untuk Memenuhi : Tugas Mata Kuliah Ekologi Hutan
Dosen Pengajar : Dra. Nike Triwahyuningsih, MP



Disusun Oleh :
Galih Indra Permana (20100212030)

Mahasiswa Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian “INTAN” Yogyakarta
2011/ 2012





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengelolaan Dan Pengamatan Hutan”, untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Hutan, sebagai pengganti ujian sisipan di Institut pertanian Yogyakarta.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ibu Dra. Nike Triwahyuningsih,MP selaku dosen pengampu mata kuliah hidrologi,
2. Teman-teman di Institut Pertanian Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan motivasi,
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I. PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Tujuan 4
C. Batasan Masalah 4

BAB II. PEMBAHASAN 10
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati 10
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan 12
C. Pengelolaan Hutan Tanaman 15
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis 18

BAB III. PENUTUP 26
A. Kesimpulan 26
B. Kritik Dan Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27













BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan bahwa titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka menca¬pai tujuan dan sasaran pembangunan nasional.

Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan kesejahte¬raan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan yang telah dite¬tapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik. dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan kesejahte¬raan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan yang telah dite¬tapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik.





B. TUJUAN

Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya; rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran hutan.

Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.


C. BATASAN MASALAH

Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, pembangunan kehutanan selama PJP I telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan nasional. Peranan hutan menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang diolah sebagai komoditas ekspor. Dalam PJP II mendatang, diperkirakan pembangunan kehutanan akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di samping ada pula peluang.




1. Tantangan

Luas kawasan hutan negara di Indonesia adalah 140,4 juta hektare, yang terdiri atas 30 juta hektare hutan lindung, 19 juta hektare kawasan konservasi alam dan hutan wisata, 64 juta hektare hutan produksi dan 27,4 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversikan. Hutan produksi, hutan lindung dan kawasan konservasi alam tersebut membentuk kawasan hutan tetap seluas 113 juta hektare. Batas kawasan hutan negara tersebut baru 32 persen yang telah selesai dikukuhkan. Sementara itu, pembangunan di berbagai sektor terus meningkat dan perubahan¬perubahan penggunaan lahan berlangsung cepat. Untuk keperluan tersebut disediakan kawasan hutan konversi. Meskipun demikian, perkembangan yang cepat dan Batas hutan yang belum tetap tersebut membawa ketidakpastian batas-batas kawasan hutan negara dan ketidakpastian usaha di bidang kehutanan dan di berbagai bidang lain yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Hal ini menimbulkan disinsentif bagi pengembangan upaya pelestarian hutan. Pada tahun 1993, dari 113 juta hektare kawasan hutan tetap hanya 92,4 juta hektare yang masih berhutan utuh. Karena itu, maka tantangan pertama pembangunan kehutanan dalam PJP II adalah peningkatan mutu hutan alam, rehabilitasi hutan alam yang rusak dan pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dapat ditingkatkan.

Pada tahun 1993 produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri nasional diperkirakan mencapai 31,8 juta meter kubik dan meningkat menjadi 40,23 juta meter kubik pada tahun 1998, yang terdiri atas produksi lestari hutan alam sebesar 22,46 juta meter kubik per tahun, produksi dari areal hutan konversi sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun, panen dari HTI sekitar 5,37 juta meter kubik, dan potensi kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat dan perkebunan sebesar 9,20 juta meter kubik per tahun.


Kemampuan hutan untuk menghasilkan terus menurun karena gangguan dan kerusakan. Kemampuan untuk mengembangkan hutan baru masih amat sedikit, sedangkan kebutuhan akan hasil dan jasa hutan untuk pembangunan dan pelestarian fungsi lingkungan terus meningkat. Di lain pihak, dalam pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan masih terdapat banyak limbah baik dihitung secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kayu bernilai tinggi diolah untuk produksi yang bernilai rendah dan tebangan hutan juga masih menghasilkan banyak sisa kayu yang ditinggalkan membusuk di hutan. Oleh karena itu, tantangan kedua pemba¬ngunan kehutanan dalam PJP II adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan alam dan industri pengolahan hasil hutan agar lebih hemat dalam penggunaan hutan dan hasil hutan, meningkatkan mute hutan dan hasil industrinya, serta meningkat¬-kan pelestarian fungsi hutan.

Dalam upaya meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, di samping peningkatan mutu hutan alam dikembangkan pula HTI dan hutan rakyat. Dalam pengem¬bangan hutan tanaman ini, terutama pengembangan HTI, sering¬- kali digunakan jenis tanaman dan teknologi yang kurang mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup, misalnya penggunaan jenis tanaman dan teknologi yang tidak sesuai dengan keadaan ekologi dan sistem sosial setempat dan konversi hutan alam yang mengurangi keanekaragaman hayati.

Seperti halnya dengan hutan alam, hasil hutan berupa kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat dan kebun campuran milik rakyat juga semakin berkurang karena luasan lahan yang makin sempit, sedangkan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Kekurangan ini seringkali ditutup dari hasil kayu di kawasan hutan negara yang dipungut tanpa memperhatikan kelestarian hutan sehingga menimbulkan kerusakan fungsi hutan alam. Oleh karena itu, tantangan ketiga dalam hal ini adalah mengembangkan hutan tanaman baru, baik HTI maupun hutan rakyat, yang serasi dengan lingkungan hidup sekitarnya dan meningkatkan produktivitas dan nilainya sehingga tercipta tambahan penghasilan yang tinggi bagi masyarakat terutama di daerah kritis, sekaligus juga dalam rangka meningkatkan mutu lingkungan hidup.


Investasi dan peran serta swasta dalam bidang kehutanan sebagian besar ditanamkan pada kegiatan pembalakan hutan pro¬duksi alam. Investasi tersebut pada dasarnya lebih bersifat inves¬-tasi untuk memanen stok tegakan hutan, bukan membangun hutan baru. Luasnya kawasan hutan tetap yang tidak berhutan, yaitu sekitar 20,6 juta hektare menunjukkan besarnya kerugian potensi usaha nasional sebagai akibat kerusakan sumber daya hutan. Oleh karena itu, tantangan yang keempat adalah meningkatkan kemam¬puan dunia usaha swasta dan masyarakat untuk mengembangkan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan dengan sistem silvi¬kultur dan sistem sosial-ekonomi yang tepat.

Masyarakat di sekitar dan di dalam hutan pada umumnya tergolong ke dalam golongan masyarakat tertinggal. Kondisi sosial ekonomi golongan masyarakat ini pada umumnya adalah tergolong miskin. Pemanfaatan hutan oleh pemegang HPH sering mengabai¬kan kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terha¬dap sumber daya hutan. Hal ini menyebabkan akses penduduk tersebut kepada manfaat hutan menjadi sangat terbatas. Masyara¬-kat sekitar hutan juga kurang mampu memanfaatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan usaha kehu¬tanan tersebut, sehingga kesenjangan status ekonomi antara penduduk asli setempat dengan penduduk yang berasal dari luar menjadi semakin tinggi yang kemudian meningkatkan kecembu¬-ruan sosial. Kecemburuan sosial dan kemiskinan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan ini sering menjadi penyebab kerusakan hutan yang mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya. Oleh karena itu, tantangan kelima dalam pembangunan kehutanan adalah membangun peranan kehu¬tanan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin di sekitar dan di dalam hutan melalui pengembangan usaha produktif yang didasarkan kepada kemitraan yang mantap, denga sekaligus meningkatkan pendapatan daerah, terutama pendapatan daerah-daerah yang tertinggal.


Sebagian besar hasil industri kehutanan Indonesia seperti kayu lapis ditujukan untuk diperdagangkan di pasar ekspor. Perda¬gangan internasional pada masa datang akan mengarah pada pola perdagangan yang makin kompetitif dengan arus globalisasi yang makin cepat. Di samping itu masyarakat internasional menilai bahwa pemanfaatan hutan tropis secara berlebihan mengakibatkan gangguan terhadap lingkungan global. Hal ini menimbulkan dorongan dalam perdagangan kayu tropis yang berwawasan ling¬kungan. Oleh karena itu, tantangan keenam dalam pembangunan kehutanan adalah mengembangkan hasil hutan untuk ekspor yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

Organisasi kehutanan pada waktu ini terdiri atas organisasi daerah tingkat I dan pusat. Kegiatan kehutanan yang semakin meningkat yang berkaitan dengan industri yang berorientasi ekspor telah membentuk kekuatan organisasi kehutanan tingkat pusat, dan belum mengembangkan organisasi kehutanan di tingkat daerah. Kesenjangan ini menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kemampuan dan kepedulian pemerintah daerah yang kurang memadai terhadap kelestarian hutan dan pentingnya hutan untuk mendukung industri dan lingkungan hidup, sehingga kerusakan hutan semakin sering terjadi. Oleh karena itu, tantangan ketujuh yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan adalah meningkat¬kan kemampuan, kepedulian, dan peran pemerintah daerah dalam pelestarian fungsi hutan baik sebagai sumber daya ekonomi maupun sebagai penyedia jasa lingkungan hidup.

2. Kendala

Untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan PJP II dan Repelita VI terdapat berbagai kendala yang masih harus dihadapi dalam pengelolaan kehutanan di masa depan baik dalam tata ruang kawasan hutan negara, infrastruktur, kelembagaan, kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun persepsi masyarakat dan aparatur negara.


Hutan negara yang mencapai luas 140,4 juta hektare dengan berbagai bentuk penggunaannya masih sangat sedikit diketahui batas-batasnya di lapangan. Penataan ruang daerah yang belum mantap menyebabkan terjadinya tumpang tindih dalam peman¬faatan kawasan hutan serta menyebabkan kesulitan dalam meman¬tapkan sistem pengelolaan hutan secara lestari. Masih kurang mantapnya tata ruang daerah tersebut menjadi kendala dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, baik dari segi kepas¬tian usaha bagi dunia usaha kehutanan dan masyarakat maupun dari segi pengawasan dan pengendalian pengusahaan hutan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya.

Kawasan hutan pada umumnya terdapat di daerah yang ter-pencil dengan keadaan topografi yang berat sehingga upaya pe¬manfaatannya belum efisien. Pemanfaatan hutan seringkali dilaku¬kan hanya di sekitar daerah yang mudah dicapai yang sering menunjukkan gejala eksploitasi yang berlebihan dan merusak kele¬starian hutan. Oleh karena itu, kondisi lapangan yang berat ser¬ingkali menjadi kendala yang utama dalam pembangunan infras¬truktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang produktif, efisien, dan berkelanjutan.

Hutan alam Indonesia sangat luas dan beraneka ragam serta tersebar di seluruh kepulauan. Untuk meningkatkan pengelolaan¬nya diperlukan sumber daya manusia yang berkeahlian, terampil, berdedikasi tinggi, tahan keterpencilan, dan berjiwa pelopor. Kurangnya sumber daya manusia yang profesional dan berdedikasi tinggi menjadi kendala yang berat dalam pembangunan kehutanan di masa depan, terutama di kalangan dunia usaha kehutanan dan di daerah-daerah. Upaya pelestarian hutan memerlukan ilmu dan teknologi yang tepat yang sesuai dengan kondisi hutan yang beraneka ragam.


Pelestarian hutan juga memerlukan keserasian yang dinamis antara pengelolaan hutan, perkembangan masyarakat dan penduduk, perkembangan industri kehutanan, perdagangan dan pemanfaatan basil hutan. Sementara itu, penelitian yang telah dilaksanakan pada waktu ini masih sangat terbatas karena berbagai kendala seperti kurangnya tenaga peneliti yang ahli. Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih kurang ini akan menjadi kendala yang penting dalam pembangunan kehutanan di masa depan.

Keadaan kelembagaan di bidang kehutanan dan berbagai bidang pendukungnya masih belum sepenuhnya mampu mendu¬kung pengembangan sistem produksi kehutanan yang tangguh dan lestari. Berbagai peraturan perundangan yang sudah ada pada umumnya masih belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan keadaan lapangan dan yang serasi dengan berbagai peraturan perundangan lainnya, sehingga pelaksanaan pembangunan kehutanan seringkali berbeda dengan cita-cita yang tertulis dalam peraturan perundangan yang pokok. Kelembagaan kehutanan dan berbagai pendukungnya yang belum berkembang akan merupakan kendala yang berat dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan sistem produksi kehutanan dan dalam meningkatkan peran serta masyarakat di masa depan.

Kerusakan hutan disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor manusia dan masyarakat yang masih belum memahami fungsi hutan dalam pembangunan nasional. Demikian juga apara-tur pemerintah dan dunia usaha masih banyak yang belum me¬mahami pentingnya pelestarian hutan dan belum melaksanakan upaya untuk melestarikan fungsi hutan alam tersebut. Persepsi masyarakat, dunia usaha, dan aparatur pemerintah yang masih sangat kurang ini merupakan kendala yang penting dalam upaya meningkatkan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan di masa mendatang.











BAB II. PEMBAHASAN

A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati

Pendekatan ekologi

Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu terjadi karena mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling membentuk.Karena itu sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya manusia dengan lingkungan hidupnya terdiri atas berbagai macam makhluk hidup beserta benda tak hidup membentuk suatu ekosistem, dimana masing-masing merupakan suatu sub ekosistem yang mempunyai fungsi masing-masing dalam satu kesatuan yang utuh. Kerusakan pada salah satu sub ekosistem akan mempengaruhi ekosistem yang lain termasuk manusia.


Dengan demikian, pendekatan ekologi dalam operasionalisasi CATUR PROGRAM pembangunan Kabupaten Belu menuntut seluruh lembaga pemerintah, swasta, LSM dan segenap warga masyarakat Kabupaten Belu untuk senantiasa memelihara kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem ( pembangunan yang berwawasan lingkungan ). Pembangunan yang merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan ekosistem harus dicegah sehingga tidak mengakibatkan bencana bagi masyarakat Kabupaten Belu kini dan generasi mendatang.


Cara Melindungi Keanekaragaman Hayati

Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
Usaha untuk memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya dari sumber-daya alam sering mengakibatkan menurunnya kemampuan sumberdaya alam yang bersangkutan bahkan terkadang dapat mengakibatkan kepunahan dari sumberdaya alam tersebut.
Belum semua sumber plasma nutfah yang ada di sekitar kita dapat dimanfaatkan. Dengan usaha penelitian yang lebih baik di masa depan akan diketahui sumber plasma nutfah bagi manusia yang dikembangkan pemanfaatannya. Khususnya pada beberapa sumberdaya alam yang kini sudah diketahui manfaatnya namun masih belum dapat diolah atau dibudidayakan.
1. Sampai saat ini masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dengan 3 cara yaitu:
2.
1. Memanfaatkan secara langsung sumberdaya alam hayati dari alam, sehingga kesinambungan ketersediaannya semata-mata diserahkan kepada alam.

2. Cara pemanfaatan seperti ini hanya berjalan baik bila ada keseimbangan antara eksploitasi atau pengambilan dan kecepatan tumbuh untuk memperbanyak diri atau berkembang biak. Namun jika sebaliknya, maka tentu saja akan mengancam sumberdaya alam hayati.

3. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan cara mengolah atau membudidayakannya. Pada cara ini kesinambungan ketersediaannya tidak hanya semata-mata tergantung pada alam akan tetapi ada usaha dari manusia untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati cenderung menurun atau rusak, bahkan beberapa jenis sumberdaya alam hayati sudah dinyatakan punah. Dalam skala internasional, kayu hitam dan burung Dodop dari Mauritius sudah punah dari muka bumi. Di Indonesia Burung Gelatik (Padda oryzovora) misalnya, merupakan fauna yang populasinya menurun. Sementara itu, Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah dinyatakan punah. Penurunan dan perusakan diduga juga terjadi pada jenis flora dan fauna yang belum diketahui manfaatnya secara langsung bagi kehidupan manusia atau yang belum diteliti fungsinya dalam ekosistem.
Ekosistem hutan mengandung atau memiliki keanekaragaman jenis dan genetika yang sangat tinggi. Akan tetapi ekosistem hutan mendapat tekanan terus-menerus karena pemanfaatan ekosistem dan jenisnya yang mengancam kelestarian dari keanekaragaman hayati tersebut. Eksploitasi hutan melalui kegiatan pertambangan, konversi hutan menjadi lahan transmigrasi, pertanian dan perkebunan akan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah. Dengan demikian diperlukan adanya upaya perlindungan untuk mempertahankan agar keaneka-ragaman genetik tetap tinggi sehingga pemanfaatannya tetap menggunakan prinsip lestari.
Perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati dapat diwujudkan dengan mempertahankan serta tidak merubah fungsi ekologi suatu kawasan yang menunjang habitasi flora dan fauna. Usaha perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan terhadap ekosistem hutan beserta seluruh jenis dan genetiknya. Konsep terbaru strategi konservasi sedunia bertujuan untuk memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis serta ekosistem secara lestari.



B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan

Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.

Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.
Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas adalah kekhasan, keterancaman, dan kegunaan. Beberapa pendekatan yang digunakan dengan pendekatan jenis / spesies, pendekatan komunitas dan ekosistem, pendekatan kawasan dan manusia. Penilaian kawasan konservasi berdasar Pedoman Penetapan Kriteria Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995) :

Keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya,`luasan kawasan,`keindahan alam ,`kenyamanan,`kemudahan pencapaian nilai sejarah, kehendak politik, aspirasi masyarakat. Kriteria umum penetapan kawasan konservasi dalam memilih calon lokasi konservasi adalah dengan mempertimbangkan Kriteria Ekologi, Kriteria Sosial, Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, dan Kriteria Pragmatik. Fungsi penetapan kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem.

Pendekatan Penetapan Kawasan Konservasi:
1. Pendekatan admistratif dan hukumPendekatan fisik
2. Pendekatan ekologi, meliputi; keanekaragaman hayati, kondisi kealamian, keunikan dan kelangkaan jenis, kerentanan kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain.
3. Pendekatan sosial budaya, meliputi; tingkat dukungan dan kepedulian masyarakat, kepemilikan lahan, konflik kepentingan, kebudayaan, dan Keamanan.
4. Pendekatan ekonomi, meliputi; spesies ekonomis penting, kepentingan perikanan, bentuk ancaman terhadap sumberdaya perairan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
5. Pendekatan kelembagaan, meliputi; keberadaan lembaga sosial, dukungan infrastruktur sosial, dukungan pemerintah pusat dan atau daerah

Kelembagaan Kawasan Konservasi
Kriteria Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan konservasi:
1. Kelembagaan Tingkat Nasional
2. Kelembagaan Tingkat Daerah
3. Kelembagaan Tingkat Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Daerah Tk. II dengan menunjuk badan pengelola yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah Tk. II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas masyarakat lokal).




Jenis Tujuan Pengelolaan
Taman Nasional Perairan (TNP) Kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
Suaka Alam Perairan (SAP) Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
Suaka Perikanan (SP) Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.



Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air


Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memulihkan dan menjaga, serta meningkatkan kelestarian sumber daya hutan terutama di kawasan lindung, sehingga fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan meningkat dan lestari. Unsur sumber daya hutan dalam kegiatan ini mencakup hutan lindung, Daerah Aliran Sungai (DAS), suaka alam dan ekosistem khas lainnya, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya.

Kegiatan-kegiatan utama yang dilaksanakan, antara lain :
(1) memelihara fungsi dan kemampuan sistem tata air yang dikem¬bangkan secara terpadu dengan pengelolaan DAS;
(2) membina dan mengembangkan taman nasional, taman buru, taman wisata, taman hutan raya, pengelolaan hutan lindung;
(3) mengembangkan kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
(4) membina dan mengembangkan pemanfaatan satwa;
(5) mem¬bina dan mengembangkan daerah penyangga;
(6) membina dan mengembangkan kawasan suaka alam;
(7) membina dan mengem¬bangkan konservasi eksitu;
(8) meningkatkan pelestarian keaneka¬ragaman hayati; dan
(9) melaksanakan pengamanan hutan terpadu dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan instansi terkait dengan sumber daya hutan, secara terkoordinasi dengan aparat keamanan setempat.













C. Pengelolaan Hutan Tanaman


Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produk¬tivitasnya sudah semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode ter¬tentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I. Pengelolaan Hutan Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam eko¬sistem hutan tropika humida dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelo¬laannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia – TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struk¬tur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in¬ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat di¬perlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka penge¬lolaan hutan alam akan beralih ke hutan bekas tebang¬an. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebang¬an perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produk¬sinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tam¬paknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, peng¬adaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman, pem¬bebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi karena tindakan pen¬jarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po¬hon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat per¬tumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi se¬bagai pembentuk struktur sehingga terus memberi¬kan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuai¬an lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe¬ngelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh fak-tor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produk¬tivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi hendaknya di¬kaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hu¬tan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sa¬ngat tergantung sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baik¬nya.
II. Pengelolaan Hutan Tanaman
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilaku¬kan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pesti¬sida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan out¬put utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman ma¬sih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas eko¬sistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penu¬runan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soe¬kotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk¬tivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagai¬nya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 – 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi men¬jadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organi¬zation of The United Nations) juga melaporkan kondisi se¬rupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tinggi¬nya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai berikut:
a. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan se¬hingga struktur hutan yang terbentuk selalu mono¬kultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran ta¬pak hutan yang ditandai dengan penurunan produk¬tivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus di¬ganti dengan jenis tanaman lain
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai penge¬lolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan me¬nyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelola¬an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkung¬an yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.

Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.

Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.



D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis


Dari Repelita hingga masa Reformasi”
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi hutan diluar jawa, melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen pembangunan selama tiga dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75 persen diantaranya eksport.
Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun 1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang selanjutnta disebut “hutan negara”. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10 perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54 juta hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum dan menurunnya nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari 100 HPH tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I – V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan pemegang konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5 perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan 17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen, konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan “rent seeker”. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu, pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1 juta meter kubik pertahun.

Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi tanaman terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun 1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2 juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para pemegang HPH dipersya¬ratkan untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan pena¬naman baru di areal yang tidak produktif serta melaksanakan pengamanan hutan.

Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan hak.

Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993 kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasi¬tas industri pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan hutan tanaman industri (HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.

Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare. Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah pula dimulai dalam Repelita V.


Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4 juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan untuk keperluan peru¬-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.

Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun, yaitu terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun dan kegiatan pembalakan (logging) sebesar Rp8,1 triliun.

Industri penggergajian merupakan industri kehutanan terbe¬sar. Walaupun demikian produktivitas per unit industri penggerga¬jian relatif rendah, yaitu sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993 realisasi pro¬duksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta meter kubik dan pulpa 450 ribu meter kubik.

Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan. Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat menjadi ekspor kayu olahan.

Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dike¬nakan pajak ekspor yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu gergajian se¬tengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam negeri yang mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup antara lain industri perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil hutan yang berupa barang jadi.

Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar. Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber daya hutan per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan manfaat nilai tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80 persen pasaran kayu tropis dunia.


Pelestarian Hutan dan Ekosistem

Pelestarian manfaat hutan alam, perluasan hutan baru yang berkualitas dan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi meru¬pakan upaya yang terus ditingkatkan untuk meningkatkan peranan dan fungsi hutan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup baik lingkungan lokal maupun lingkungan global. Di samping itu, pene¬tapan kawasan lindung yang berupa hutan gambut, hutan bakau, hutan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan pelindung sempadan sungai dan danau, taman nasional, terumbu karang, dan sebagainya perlu diikuti dengan pembinaan dan pengelolaannya yang lebih baik. Pengelolaan hutan lindung, terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam ditingkatkan terus agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam upaya pelestarian kawasan lindung perlu diper¬hatikan pula kepentingan masyarakat sekitarnya, terutama dalam memperoleh manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manfaat ekonomi dari pengembangan pariwisata.





Program Pembangunan Hutan Tanaman Baru

Program ini ditujukan untuk meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi. Sasaran dari program ini adalah selain untuk meningkatkan produksi hasil hutan juga untuk meningkatkan kesempatan masyarakat berparti¬sipasi dalam pembangunan hutan. Oleh karena itu, kegiatan utama dalam program ini adalah membangun hutan-hutan tanaman antara lain HTI baik yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta besar, koperasi, pengusaha menengah dan kecil, maupun yang dilaksana¬kan oleh rakyat. Pembangunan hutan tanaman baru tersebut dimaksudkan untuk menambah luas kawasan yang berhutan dan tidak merubah hutan alam menjadi hutan tanaman, sehingga kon¬versi hutan alam yang masih utuh dan produktif dapat dihindari. Produksi kayu sebesar 13,5 juta meter kubik akan dihasilkan dari hutan tanaman selama Repelita VI. Selama Repelita VI pembangunan HTI direncanakan seluas 1,25 juta hektare yang terdiri dari HTI pulpa seluas 500 ribu hektare, HTI Trans seluas 300 ribu hektare, budi daya tanaman unggulan (meranti) seluas 450 ribu hektare. Dikembangkan pula dalam program ini budi daya tanaman lainnya melalui hutan kemasyarakatan seperti rotan, sutera alam, dan lain-lain disertai pembuatan kebun benih yang mema¬dai. Keanekaragaman hayati dalam hutan tanaman baru juga ditingkatkan, melalui pencampuran jenis yang tepat dan serasi dengan ekosistem setempat.


Kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian SDH sekaligus keberlanjutan peran sosal ekonominya. Sumbangan SDH dari hutan alam terhadap pembangunan nasional sangat signifikant selama 2 dekade (1967 – 1980-an). Sisi negatif : banyak terjadi kerusakan hutan di sisi lain industri kayu telah dibangun besar-besaran. Tahun 1984 di Fakultas Kehutanan IPB diadakan lokakarya “Kini Menanam Esok Memanen” dihadiri seluruh komponen rimbawan. Kekhawatiran cukp rasional asumsi produksi kayu hutan alam 47 juta m3/tahun, pertumbuhan industri perkayuan nasional rata-rata 2 – 20 %, maka akan terjadi defisit bahan baku pada tahun 1988/1989 sebesar 1,92 juta m3/tahun untuk kayu perukangan dan 0.7 juta m3/tahun untuk pulp dan kertas

Program Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Hutan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu melalui pengembangan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi,. usaha menengah, usaha kecil dan tradisional. Kegiatan utama dalam program ini meliputi, antara lain (1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil hutan melalui berbagai teknologi tepat guna dan mengembangkan akses ke pasaran hasil hutan olahan; (2) meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial usaha pengolahan hasil hutan rakyat melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan teknis, manajerial, dan kepemimpinan; (3) menumbuhkembangkan koperasi usaha pengolahan hasil hutan rakyat dan mendorong tumbuhnya kerja sama antara perusahaan swasta besar dan BUMN kehutanan dengan koperasi usaha pengolahan hasil hutan tersebut berdasarkan prinsip kemitraan usaha; dan (4) mengembangkan berbagai kemudahan berusaha bagi usaha menengah, kecil dan tradisional dalam pengolahan hasil hutan rakyat. Kegiatan¬- kegiatan tersebut dikaitkan pula dengan pengembangan perhutanan rakyat.

Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Pengelolaan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan

Dalam pengelolaan hutan alam diupayakan untuk meningkat¬kan jenis hasilnya sehingga hutan alam dapat memberikan semua jenis hasil yang dikandungnya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan masyarakat Indonesia pada umumnya tanpa merusak keanekaragaman jenis dan keutuhannya. Pemeliharaan kelestarian hutan akan menjadi lebih berhasil apabila masyarakat sekitar hutan ikut serta memeliharanya. Hal ini dapat dilaksanakan apabila masyarakat sekitar hutan ikut menikmati hasil dari hutan tersebut, oleh karena itu masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan diberikan hak dan kewajiban yang nyata atas manfaat dan kelestarian hutan alam di daerahnya melalui berbagai insentif dan disinsentif ekonomi, pembangunan solidaritas sosial, dan peraturan perundangan yang tepat.

Bersamaan dengan itu, kawasan hutan yang rusak terus dire¬habilitasi dengan jenis tanaman hutan bermutu tinggi yang serasi dengan fungsi lingkungan hidup, permintaan industri perkayuan, dan dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Areal bekas tambang yang tandus dan semacamnya dikembalikan menjadi kawasan hutan dan direhabilitasi agar menjadi hutan yang baik kembali. Semua usaha pembinaan sumber daya hutan yang baru, peningkatan produktivitas hutan dan peningkatan efisiensi pengolahan hasil diarahkan untuk menyerasikan kemampuan hutan dengan perkem¬bangan industri yang semakin meningkat. Pembangunan industri perkayuan yang efisien dan produktif serta menghasilkan hasil hutan bermutu tinggi dan barang jadi berkualitas lebih diutama¬kan.

Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hutan, produksi yang dipanen dari hutan, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman disesuaikan dengan kemampuan hutan tersebut untuk menghasilkannya secara lestari. Kemampuan hutan tanaman untuk menghasilkan jumlah dan mutu hasil yang lebih tinggi dan beraneka ragam ditingkatkan melalui pemilihan jenis unggul dan pemanfaatan teknologi dan kemampuan manajemen yang lebih baik. Dalam hubungan itu, upaya pemanfaatan limbah pembalakan hutan, dan pengolahan hasil hutan terus ditingkatkan pula sehingga jumlah hasil yang termanfaatkan menjadi lebih tinggi. Demikian pula insentif untuk melaksanakan pengurusan hutan yang baik dan disinsentif untuk mencegah sistem pembalakan yang merusak kelestarian hutan ditingkatkan. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dari industri pengolahan hasil hutan, maka nilai bahan baku hasil hutan diatur sehingga mendekati harga pasar, sedangkan bagi pemakai hasil hutan yang kurang mampu dan miskin diberikan berbagai kemudahan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraannya dan kemampuannya berusaha, sekaligus merupakan perangsang untuk ikut memelihara keamanan dan kelestarian fungsi hutan.
Untuk meningkatkan penghasilan negara dari pengusahaan hutan, maka pungutan nilai tegakan yang harus dibayar oleh pengusaha hutan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan ke¬adaan harga pasar. Pungutan tersebut dilaksanakan di hutan berda¬sarkan volume dan jumlah pohon yang ditebang, yang senantiasa harus sesuai dengan rencana kelestarian hasil yang ditentukan.

Peningkatan Kemampuan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan

Kelembagaan dan perangkat hukum di bidang kehutanan terus dikembangkan untuk meningkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat terutama usaha menengah, kecil dan tradisional dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan pemerintah daerah dalam pembangunan kehutanan. Sejalan dengan upaya itu ditingkatkan pula kemampuan sumber daya manusianya serta sistem pendukungnya sehingga peranan dunia usaha, masyarakat sekitar hutan dan pemerintah daerah dapat menjadi lebih produktif lagi dalam upaya pelestarian hutan dan peningkatan manfaat hutan bagi pembangunan nasional. Dalam rangka peningkatan otonomi daerah, maka semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan konservasi tanah dan perhutanan rakyat secara bertahap dilimpah¬kan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Koordinasi yang lebih mantap ditingkatkan antara pembangunan industri dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup agar kelestarian hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelan¬jutan dapat mulai terwujud dalam Repelita VI.


PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN

UU no 41 no 1999 tentang kehutanan, perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran , hama , serta penyakit.
1. mempertahankan dan menjaga hak hak negara , masyarakat dan perorangan atas hutan , kawasan hutan , hasil hutan , investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

perlindungan hutan menurut Harley dan Stikel (1956)
- perlindungan hutan merupakan bagian dari silvikultur yang membahas tentang metoda perlindungan terhadap hutan dan berbagai faktor pengganggu/ perusak

gangguan hutan adalah setiap kejadian pada hutan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan

kerusakan hutan terjadinya perubahan fisik atau sifat fisiknya

urutan prosedur kerja menghadapi gangguan hutan :
1. mengetahui macam faktor pengganggu
2. mempelajari sebab sebab atau latar belakang terjadinya gangguan
3. mempelajari mekanisme atau proses terjadinya gangguan dan kerusakan
mempelajari pengaruh atau dampak dari gangguan dan kerusakan
mencari metoda metoda pengendalian gangguan hutan, sesuai dengan macam gangguan tersebut.

Program Rehabilitasi Lahan Kritis

Rehabilitasi lahan kritis ditujukan untuk memulihkan kondisi lahan yang sudah kritis, sehingga fungsinya meningkat baik seba-gai sumber daya pembangunan maupun sebagai penyangga sistem kehidupan. Rehabilitasi lahan kritis ini dilaksanakan pada kawas¬an hutan tetap yang rusak, tanah kritis pada lahan pertanian, dan lahan kritis lainnya. Kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksana¬kan meliputi, antara lain (1) merehabilitasi kawasan lindung yang kritis; (2) meningkatkan konservasi tanah pada lahan usaha tani yang kritis dan tidak produktif; dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat perdesaan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan usahanya. Diutamakan rehabilitasi lahan kritis di daerah¬daerah yang miskin untuk meningkatkan mutu sumber daya alam agar kesejahteraan penduduk miskin dapat ditingkatkan.



















BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengelolaan hutan dan perlindungan hutan harus sangat diperhatikan karena hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya; rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran hutan.


Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.



B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. 2008. Rancangan Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Kerjasama BBKSDA Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest Mandiri Faperta. Medan.


Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta.
Departemen Kehutanan R. I. Indonesia.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta.

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus 1995.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor.

http:// irwantoshut.com(diakses tanggal 17 desember 2008).